Pemandangan yang Buram
atau Kacamatanya yang Harus Diganti?
Dengan ‘kacamata’ yang benar kita selalu melihat
harapan di dalam kesulitan hidup seberat apa pun yang kita hadapi. Kita
meyakini bahwa di dalam setiap kesulitan selalu terdapat kemudahan.
Kacamata. Sebuah frase yang
memiliki makna denotatif dan konotatif. Dia bisa berarti sebuah alat yang
membantu memperbaiki daya penglihatan. Bisa pula bermakna ‘cara kita memandang
sesuatu’. Dengan kacamata yang salah, situasi apa pun yang kita hadapi akan dipersepsikan
secara negative. Dengan kacamata yang baik kita selalu menemukan sisi positif
dari setiap peristiwa yang kita alami. Bahkan, sekali pun peristiwa itu kurang
menyenangkan. Benarkah demikian? Benar. Karena kita percaya bahwa setiap
peristiwa itu seperti keping mata uang. Terserah kita, apakah memfokuskan sudut
pandang pada sisi positif atau negatifnya?
Kacamata ini
sudah saya gunakan selama lebih dari tiga tahun. Salah satu alasan mengapa saya
tidak ingin menggantinya adalah karena saya merasa nyaman dengannya. Setiap
hari saya menggunakannya sehingga saya tidak menyadari bahwa sesuatu telah
terjadi dengan penglihatan ini. Pada awalnya, saya merasakan sakit kepala yang
semakin lama semakin sering terjadi. Kemudian, teks film di TV terlihat kurang
jelas sehingga saya berusaha mengubah-ubah kabel antena. Namun, saya tidak
berhasil membuat gambar di TV lebih jelas sekali pun tiang antena di atap rumah
sudah diputar-putar ke sana-ke mari. Jangan-jangan, ‘kesalahan bukan pada
pesawat televise….’
Benar saja.
Pemeriksaan di sebuah optik menunjukkan kacamata itu tidak lagi cocok dengan
kondisi mata saya. Rupanya, itulah yang menyebabkan mengapa pandangan saya
tidak lagi jernih. Hari ini, tiba-tiba saya juga menyadari bahwa selama ini
saya sering memandang hidup dalam suasana yang suram. Bahkan kadang-kadang
gelap seperti diselimuti kabut. Jangan-jangan semua itu terjadi karena saya
keliru menggunakan ‘kacamata’ dalam memandang hidup. Ketika menghadapi
kesulitan hidup kita sering berkeluh kesah hingga tidak jarang kehilangan harapan.
Seolah dunia ini nyaris runtuh. Bahkan, ketika prospek yang kita kunjungi
mengatakan ‘tidak’ terhadap produk yang kita tawarkan, kita merasa kesakitan
yang tajam di dalam hati. Atau ketika surat lamaran kerja kita tidak kunjung mendapatkan
balasan, kita merasa dunia ini tertutup bagi kita. Atau, ketika seorang gadis
mengatakan ‘maaf, saya belum bisa menerima cintamu,’ kita menganggap itu
sebagai sebuah penghinaan. Kita sering gagal melihatnya dari sisi positif
sehingga batin kita dikuasai oleh kesimpulan dan sikap negatif.
Dengan kacamata
yang keliru, bahkan kabar baik pun bisa dipersepsikan secara keliru. Ketika
kita mendapatkan promosi jabatan, kita menganggapnya kesempatan untuk menepuk
dada. ‘Sekarang gue ini bos, elu pade mesti hormat sama gue!’ Ketika Tuhan memberikan kelapangan
harta, kita melihatnya sebagai kesempatan untuk menunjukkan bahwa derajat kita
lebih tinggi dari orang lain yang pada miskin. Ketika dianugerahi keluasan
ilmu, kita mengira orang lain bodoh.
Petugas optik
menyarankan kepada saya untuk mengganti lensa kacamata itu. Lalu saya mengikuti
sarannya. Ajaib sekali, sejak saya mengganti lensa kacamata itu, saya tidak
lagi mengeluh sakit kepala yang selama ini menghantui. Pesawat televisi saya
menampilkan gambar yang jelas dan bersih. Saya memandang dunia seolah
menampilkan suasana baru yang jauh lebih cerah dari sebelumnya. Hal ini benar
dalam pengertian sesungguhnya, maupun dalam konteks metafora. Buktinya, dengan
‘kacamata’ yang benar kita selalu melihat harapan di dalam kesulitan hidup
seberat apa pun yang kita hadapi. Kita meyakini bahwa di dalam setiap
kesulitan, selalu terdapat kemudahan.
Ketika seorang
pelanggan mengatakan, “maaf, saya tidak jadi membeli produk Anda,” tiba-tiba
saja kita menyadari bahwa cara pendekatan atau teknik penjualan yang kita
gunakan itu masih belum tepat sehingga kita harus memperbaikinya. Atau, mungkin
produk kita tidak lagi memiliki keunggulan sehingga kita menjadi tertantang
untuk melakukan inovasi. Tanpa penolakan itu, kita mungkin tidak pernah sampai
pada kesadaran sedalam itu.
Kacamata itu
jugalah yang memberi kita kemampuan untuk menerima semua cobaan yang Tuhan
berikan sebagai sarana bagi kita untuk ‘naik tingkat’ di mata-Nya. Bukankah
para guru spiritual kita selalu mengatakan bahwa, “jika Tuhan ingin menaikkan
derajat seorang hamba maka Dia akan memberinya sebuah cobaan. Jika hamba itu
dapat melalui cobaan itu dengan tulus dan penuh kesadaran maka tingkat
keimanannya akan semakin tinggi.”