Selasa, 08 Januari 2013

sinopsis novel


Ingin
menJadi
Sajadahmu

F.Fahri EL Khalil

            Subuh telah tiba.
Langit masih gelap. Ayam jantan menunjukan kebolehanya membangunkan para manusia untuk bersujud kepada-Nya.Embun masih membasahi padi – padi yang hijau. Embun yang jatuh ketanah karena terkena angin subuh yang membawa suara – suara surgai. Suara yang membuat pohon yang tertinggi sampai rerumputan dan binatang – binatang mendayu menyebut nama-Nya dan bersujud kepada-Nya. Taklupa bintang  dan bulan ikut menyebut nama-Nya dan bersujud kepada-Nya. Suara itu eakan mneghantarkan Para Malikat untuk menaburkan berkah di muka bumi ini.
Di dalam mukena putih berbordir bunga melati, aku yang khusu menjalankan sholat subuh dengan adiku Farid, ikut merasakan angin subuh itu. Entah dari mana awal ingin itu ditiup, angin yang membawa energy semangan hidup ketika aku menjalankan sholat subuh. Angin yang mengingatkanku pada saat aku duduk di bangku SMP.
Saat aku, Farid dan kedua orang tuaku sering menjalankan sholat subuh berjama’ah di rumah. Kebersamaan, kehangatan, dan keharmonisan, itulah kesan yang membekas di dalam relung hati, tapi setelah ayah dan ibu meninggal dunia karena kecelakaan  pada saat mau berangkat menghadiri pengajian minggu di Masjid Raya Klaten. Hati ini sekarang rindu akan Kebersamaan, kehangatan, dan keharmonisan.
Mulai dari itulah aku dan adiku bertekat untuk hidup mandiri, berjuang melaan kerasnya hidup,  walaupun ada paman yang mempunyai Rumah makan ternama di Kota Klaten, tapi aku takmau menyusahkan Paman dan Bibi terus. Karena aku harus mampu menghidupi aku sendiri dan adiku. Adiku yang baru duduk di bangku SMP, kasian apabila putus sekolah.
Setelah selesai sholat aku ber zikir. Zikir adalah salah satu kesukaanku. Dangan zikir hatiku tentram dan sejuk. Rasululluh s a w bersabda.Allah  Hampir setiap ada waktu luang aku gunakan untuk membaca Al,Quran atau berzikir. Sekedar memutar - mutar tasbih kecil pemberian ibu yang terbuat dari kayu sambil menyebut kalimat – kalimat Illahi. Begitu tentram dan sejuk hati ini menjalani hidup.
Selesai berzikir, dengan mata berkaca – kaca aku berdo’a.
Ya Allah engkaulah Tuhanku, segala puji untukMu. Ya Allah terimakasih telah memberi nikmat yang tak terputus. Ya Allah ampunilah dosa – dosa hamba, hindarkan aku dari sifat sombong, dengki, dan iri. Tegurlah hamba bila hamba melanggar. Amin…
     Setelah berdo’a ku buka mukenaku, lalu aku lipat. Ketika aku melipat mukena Farid menengok kebelakang, dia tersenyum ramah. Aku mambalas dengan senyum kembali.
“Mbak…,nanti aku bantu memasak, ya..?”
“Tidak usah, kamu belajar saja. Kan katanya mau ulangan?” tolakku halus.
“Yah..!, Mbak Fira ini. Tadi malamkan sudah belajar!. Ayolah Mbak ” Farid terus memohon.
“Eemmm…?”  pikirku.
“Ayolah Mbak!”
“Boleh, tapi ada satu syarat.”
“Apa itu Mbak?” Farid penasaran.
“Apabila nanti kamu ulangan nilainya jelek maka kamu tidak usah membantu Mbak. Dan sebaliknya kakau nilaimu bagus maka kamu boleh bantu Mbak sesukamu. Bagaimana?”
“Oke!” jabwab Farid semangat.
Ku masukan mukenaku yang sudah kulipat ke sajadah, menjadi satu. Dan ku beranjak berdiri, Farid juga melakukan hal yang serupa. Farid melepas sarung dan pecinya. Sementara aku merapikan jilbab di depan kaca.
“Rid? Kamu ambil beras di karung lima liter lalu kamu cuci.” Perintahku sambil merapikan jilbab.
“Iya Mbak..!” sahut Farid beranjak ke dapur.
Lalu aku juga beranjak ke dapur. Kulihat Farid mulai menuangkan beras dari karung ke tumbu dengan kaleng bekas susu formula. Ku aku langsung mengambil pisau dan alas kayu untuk memotong tempe. ku buka bungkus tempe, ku potong menjadi dua bagian, lalu ku potong lagi menjadi sepuluh potong. Setelah itu ku ambil bawang dan garam, lalu ku halus dengan cobek. Setelah menjadi adonan bumbu kumasukan adonan itu kedalam baskom, lalu kuberi air. Lalu ku aduk dengan sendok.
Ku ambil kayu dan ku siram sedikit minyak tanah. Api aku nyalakan. Setelah ujung kayu terbakar, kumasukan kayu kedalam kompor yang terbuat dari batu bata yang di tumpuk. Setelah api agak besar ku masukan kayu  sedikit demi sedikit. Setelah bara sudah jadi. Ku tumpangkan alat penggorengan ke atas kompor, lalu aku beri minyak goreng.
Sambil menunggu minyak panas. Ku sayat – sayat tahu putih agar bumbu meresap. Sesekali ku mendengar Farid sedang mencuci beras. Setelah ku sayat – sayat, tahu putih itu ku masukan ke dalam adonan bumbu tadi. Tak lama kemudian Farid datang menghampiriku.
“Mbak biar aku yang masak gorengannya, karana aku gak bisa masak nasi uduk!” kta Farid halus.
Aku tersenyum. Farid langsung mabil alih tempat penggorengan, sementara aku mengurus nasi.ku ambil beras yang sudah Farid cuci, laluku masukan kedalam panci yang didalamnya sudah ada santan yang mendidih, lalu kumasukan daun salam, bang putih, dan sedikit merica. Lalu aku aduk, dengan tenaga yang kuat aku mengaduk dengan semangat, hingga tak sadar keringat ku membasahi bagian atas jilbabku. Sambil diaduk aku mempersiapkan dandang untuk menanak nasi.
Setelah santan sudah menyerab, lalu ku angkat , dan kupindah ke dandang, yang sudah siap untuk memasak, setelah masuk semua ku tutup dandang itu denagn tutupnya. Sambil menunggu nasi matang, kuambil bawang dan cabai serta cobek. Kuletakan cabai dan bawang ke permukaan cobek, dan ku ambil sedikit garam dan sedikit penyedap rasa. Setelah tercampur semua, lalu kuhaluskan. Dengan menahan rasa pedih dimata, ku terus menghaluskan. Sepintas ku lihat Farid yang sedang lihai dengan membolak – balikan tempe di arena pengorengan.
“Rid jangan lupa paha ayamnya digoreng juga” seruku yang terus menahan pedihnya mata.
“Paha ayamnya dimana Mbak?” Tanya Farid menatapku.
“Kemarin ku letekan di dalam ember biru itu.” Jari telunjuku mengrah kearah  sebuah ember biru yang terletak di atas meja.
“Oh…Oke!.” Seru Farid lalu nengambil ember itu.
Setelah semuanya halus dan menjadi sambal bawang. Sekanrang tinggal ngecek, apakah nasinya sudah matang?. Ku buka tutup dandang, asap menyebul tebal. Tetesan – tetesan air menetes dari tutup dandang. Ku pegang nasinya, ternyata masih setengah matang.
“Rid, kamu sudah selesai mengorengnya?”
“sudah Mbak, kenapa?”
“Ini nasinya sebentar lagi matang, kamu tunggu nanti setelah matang kamu angkat, lalu kamu letekan kewadah yang biasa di pakai, Oke. Mbak mau mandi dulu!”
“siap, tuan putri” sahut Farid bercanda.
Ku langkahkan kakiku menuju kamarku. Kamar yang seluas 2 kali 3 meter ini sudah penuh debu, kayu – kayu  almari yang sudah mengikis di makan rayap, geting – genting yang penuh dengan sarang laba – laba. Ku buka almariku, kuambil dalaman dan bajuluar, rok panjang berarna hijau. Setelah itu ku langkahkan kakiku menuju kamar mandi. Kulihat Farid sedang mengambil nasi dari dandang. Ku tersenyum kepada Farid, Faridpun membalasnya dengan senyum.
Ku masuk dalam kamarmandi, kututp pintu kamar mandi yang kusam dan berdebu kayu yang sudah tua sekali.
“Byurrrrr….”
Air pecah di tubuhku. Menyentuh syaraf – syaraf yang tegang. Merambat ke tulang – tulangku yang masih tergolong muda. Tulang yang setiap hari aku banting demi memenuhi kebutuhan hidup

Tidak ada komentar:

Posting Komentar