Ingin
menJadi
Sajadahmu
F.Fahri
EL Khalil
Subuh telah tiba.
Langit
masih gelap. Ayam jantan menunjukan kebolehanya membangunkan para manusia untuk
bersujud kepada-Nya.Embun masih membasahi padi – padi yang hijau. Embun yang
jatuh ketanah karena terkena angin subuh yang membawa suara – suara surgai. Suara yang
membuat pohon yang tertinggi sampai rerumputan dan binatang – binatang mendayu
menyebut nama-Nya dan bersujud kepada-Nya. Taklupa bintang dan bulan ikut menyebut nama-Nya dan bersujud
kepada-Nya. Suara itu eakan mneghantarkan Para Malikat untuk menaburkan berkah
di muka bumi ini.
Di
dalam mukena putih berbordir bunga melati, aku yang khusu menjalankan sholat subuh
dengan adiku Farid, ikut merasakan angin subuh itu. Entah dari mana awal ingin itu ditiup,
angin yang membawa
energy semangan hidup ketika aku menjalankan sholat subuh. Angin yang
mengingatkanku pada saat aku duduk di bangku SMP.
Saat
aku, Farid dan kedua orang tuaku sering menjalankan sholat subuh berjama’ah di
rumah. Kebersamaan, kehangatan, dan keharmonisan, itulah kesan yang membekas di
dalam relung hati, tapi setelah ayah dan ibu meninggal dunia karena
kecelakaan pada saat mau berangkat
menghadiri pengajian minggu di Masjid Raya Klaten. Hati ini sekarang rindu akan
Kebersamaan, kehangatan, dan keharmonisan.
Mulai
dari itulah aku dan adiku bertekat untuk hidup mandiri, berjuang melaan kerasnya
hidup, walaupun ada paman yang mempunyai Rumah makan ternama di
Kota Klaten, tapi aku takmau menyusahkan Paman dan Bibi
terus. Karena aku harus mampu menghidupi aku sendiri dan adiku. Adiku yang baru
duduk di bangku SMP, kasian apabila putus sekolah.
Setelah
selesai sholat aku ber zikir. Zikir adalah salah satu kesukaanku. Dangan zikir
hatiku tentram dan sejuk. Rasululluh s a w bersabda.Allah Hampir setiap ada waktu luang aku gunakan untuk membaca
Al,Quran atau berzikir. Sekedar memutar - mutar tasbih kecil pemberian ibu yang
terbuat dari kayu sambil menyebut kalimat – kalimat Illahi. Begitu tentram dan sejuk
hati ini menjalani hidup.
Selesai
berzikir, dengan mata berkaca – kaca aku berdo’a.
Ya
Allah engkaulah Tuhanku, segala puji untukMu. Ya Allah terimakasih telah
memberi nikmat yang tak terputus. Ya Allah ampunilah dosa – dosa hamba,
hindarkan aku dari sifat sombong, dengki, dan iri. Tegurlah hamba bila hamba
melanggar. Amin…
Setelah berdo’a ku buka mukenaku, lalu aku
lipat. Ketika aku melipat mukena Farid menengok kebelakang, dia tersenyum
ramah. Aku mambalas dengan senyum kembali.
“Mbak…,nanti
aku bantu memasak, ya..?”
“Tidak
usah, kamu belajar saja. Kan katanya mau ulangan?” tolakku halus.
“Yah..!,
Mbak Fira ini. Tadi malamkan sudah belajar!. Ayolah Mbak ” Farid terus memohon.
“Eemmm…?” pikirku.
“Ayolah
Mbak!”
“Boleh,
tapi ada satu syarat.”
“Apa
itu Mbak?” Farid penasaran.
“Apabila
nanti kamu ulangan nilainya jelek maka kamu tidak usah membantu Mbak. Dan sebaliknya
kakau nilaimu bagus maka kamu boleh bantu Mbak sesukamu. Bagaimana?”
“Oke!”
jabwab Farid semangat.
Ku
masukan mukenaku yang sudah kulipat ke sajadah, menjadi satu. Dan ku beranjak
berdiri, Farid juga melakukan hal yang serupa. Farid melepas sarung dan
pecinya. Sementara aku merapikan jilbab di depan kaca.
“Rid?
Kamu ambil beras di karung lima liter lalu kamu cuci.” Perintahku sambil
merapikan jilbab.
“Iya
Mbak..!” sahut Farid beranjak ke dapur.
Lalu
aku juga beranjak ke dapur. Kulihat Farid mulai menuangkan beras dari karung ke
tumbu dengan kaleng bekas susu formula. Ku aku langsung mengambil pisau dan alas
kayu untuk memotong tempe. ku buka bungkus tempe, ku potong menjadi dua bagian,
lalu ku potong lagi menjadi sepuluh potong. Setelah itu ku ambil bawang dan garam, lalu ku halus
dengan cobek. Setelah menjadi adonan bumbu kumasukan adonan itu kedalam baskom,
lalu kuberi air. Lalu ku aduk dengan sendok.
Ku
ambil kayu dan ku siram sedikit minyak tanah. Api aku nyalakan. Setelah ujung
kayu terbakar, kumasukan kayu kedalam kompor yang terbuat dari batu bata yang
di tumpuk. Setelah api agak besar ku masukan kayu sedikit demi sedikit. Setelah bara sudah
jadi. Ku tumpangkan alat penggorengan ke atas kompor, lalu aku beri minyak goreng.
Sambil
menunggu minyak panas. Ku sayat – sayat tahu putih agar bumbu meresap. Sesekali
ku mendengar Farid sedang mencuci beras. Setelah ku sayat – sayat, tahu putih
itu ku masukan ke dalam adonan bumbu tadi. Tak lama kemudian Farid datang
menghampiriku.
“Mbak
biar aku yang masak gorengannya, karana aku gak bisa masak nasi uduk!” kta
Farid halus.
Aku
tersenyum. Farid langsung mabil alih tempat penggorengan, sementara aku mengurus
nasi.ku ambil beras yang sudah Farid cuci, laluku masukan kedalam panci yang
didalamnya sudah ada santan yang mendidih, lalu kumasukan daun salam, bang
putih, dan sedikit merica. Lalu aku aduk, dengan tenaga yang kuat aku mengaduk
dengan semangat, hingga tak sadar keringat ku membasahi bagian atas jilbabku. Sambil
diaduk aku mempersiapkan dandang untuk menanak nasi.
Setelah
santan sudah menyerab, lalu ku angkat , dan kupindah ke dandang, yang sudah siap
untuk memasak, setelah masuk semua ku tutup dandang itu denagn tutupnya. Sambil
menunggu nasi matang, kuambil bawang
dan cabai serta cobek. Kuletakan cabai dan bawang ke permukaan cobek, dan ku ambil sedikit garam dan sedikit penyedap rasa. Setelah tercampur semua,
lalu kuhaluskan. Dengan menahan rasa pedih dimata, ku terus menghaluskan. Sepintas
ku lihat Farid yang sedang lihai dengan membolak – balikan tempe di arena
pengorengan.
“Rid
jangan lupa paha ayamnya digoreng juga” seruku yang terus menahan pedihnya
mata.
“Paha
ayamnya dimana Mbak?” Tanya Farid menatapku.
“Kemarin
ku letekan di dalam ember biru itu.” Jari telunjuku mengrah kearah sebuah ember biru yang terletak di atas meja.
“Oh…Oke!.”
Seru Farid lalu nengambil ember itu.
Setelah
semuanya halus dan menjadi sambal bawang.
Sekanrang
tinggal ngecek, apakah nasinya sudah matang?. Ku buka tutup dandang, asap
menyebul tebal. Tetesan – tetesan air menetes dari tutup dandang. Ku pegang nasinya,
ternyata masih setengah matang.
“Rid,
kamu sudah selesai mengorengnya?”
“sudah
Mbak, kenapa?”
“Ini
nasinya sebentar lagi matang, kamu tunggu nanti setelah matang kamu angkat,
lalu kamu letekan kewadah yang biasa
di pakai, Oke. Mbak mau mandi dulu!”
“siap,
tuan putri” sahut Farid bercanda.
Ku
langkahkan kakiku menuju kamarku. Kamar yang seluas 2 kali 3 meter ini sudah
penuh debu, kayu – kayu almari yang sudah
mengikis di makan rayap, geting – genting yang penuh dengan sarang laba – laba.
Ku buka almariku, kuambil dalaman dan bajuluar, rok panjang berarna hijau. Setelah
itu ku langkahkan kakiku menuju kamar mandi. Kulihat Farid sedang mengambil nasi
dari dandang. Ku tersenyum kepada Farid, Faridpun membalasnya dengan senyum.
Ku
masuk dalam kamarmandi, kututp pintu kamar mandi yang kusam dan berdebu kayu
yang sudah tua sekali.
“Byurrrrr….”
Air
pecah di tubuhku. Menyentuh syaraf – syaraf yang tegang. Merambat ke tulang –
tulangku yang masih tergolong muda. Tulang yang setiap hari aku banting demi
memenuhi kebutuhan hidup
Tidak ada komentar:
Posting Komentar