Some Wish to God
By : Nita Nur Yutdiana
“....Hujan di senja ini seakan melalap semua kebahagiaanku dan
merubahnya menjadi kekelaman, Rintikan air yang turun sengaja menutupinya untuk
tak menampakkan pada sang surya....”
Intipan
matahari yang nampak suram tertutup oleh gulungan awan mendung itu menjadikan
dunia nampak tak secerah biasanya. Itu seperti perasaan berkabung yang
dirasakan oleh Tifa. Sudah menginjak tujuh hari kepergian sang ayah tercinta.
Ayah tifa pergi meninggalakan 3 orang anak dan Ibunda Tifa. Tepat pada malam
ketujuh kepergian sang ayah dirumah tifa nampak ramai dengan orang duduk
termenung melafalkan ayat suci al Quran untuk medoakan sang ayang yang telah
tenang dialam sana. Kepedihanmu seakan datang kembali mengulang masa tujuh hari
yang lalu saat ayah tifa menghembuskan nafas terakhirnya. Dibenaknya ia
teringat pesan sang ayang yang diucapakan dengan patahan kata yang teka terlalu
jelas yang keluar dari mulut Pria yang akrab dipanggil ayah oleh tifa.
“apapun
yang terjadi pada ayah nanti, ayah mohon jaga adik adikmu dan Ibundamu. Jangan
kau buat kesal ibunda yang telah membesarkanmu hingga kau menjadi orang hebat
saat ini. Ayah tak bisa berbuat lebih, Semoga kebaikanmu akan menjadikanmu anak
yang berbahagia bagimu dan orang lain”
Begitulah
pesan terakhir yang diucapakan dari bibir kering sang ayah di hari ke2 sebelum
ia mengembuskan nafas terakhir. Dari situlah, rinrihan hujan berpindah kemata
Tifa yang terlarut dalam lantunan doa doa dzikir. Meskipun ia adalah perempuan
yang tegar dalam hal apapun tapi jiwanya tetap lemah jika ia harus dihadapkan
pada sisi kedua orangtuanya.
Jarum jam
yang mengiringi syair demi syair doa tersebut telah melemah, begitu pula Tifa
yang dengan segera membereskan ruangan tempat berkumpulnya pada rekan yang
mendoakan ayahnya. Wajahnya nampak jatuh lemah, sepertinya ia lelah.
Dengan
belaian lembutnya Ibunda tifa membelai Pundak Tifa “Tidurlah kak, biar bunda
dan Bibi saja yang membereskan semuanya” Ucap sang ibunda dengan nada
lembut”.
Hoaahemmnt,...
dengan mata sayup tifa membalas sapaan ibundanya “Iya bunda, tifa duluan tidur
ya. Kalau bunda capek dilanjutin besok juga gapapa” sahut Tifa. Tiap
tapak lemas tubuhnya diarahkan pada suatu pintu bertuliskan tifa pada salah
satu sisi luarnya. Tanpa melepas kedua alas kaki, ia lantas terbaring lesu
tengkurang diranjang yang letaknya berdampingan dengan tempat tidur adik
keduanya Rani.
Malam
yang cukup melelahkan untuk Tifa, Ibunda dan kedua adiknya. Sekaligus malam
perayaan Doa untuk sang ayah. Meski ayah tak dapat berada disekeliling mereka
namun keluarga tersebut memulai semua hari tanpa Seorang ayah dengan tabah.
Apapun takdir yang mereka terima, itulah yang terbaik menurut Tifa dan kedua
adiknya.
Garis
panjang jam dinding sudah menunjuk pusat mata angin, tapi Ibunda Tifa masih
belum saja memejamkan matanya. Karena kegelisahan yang sedikit menganggu itu Ia
beangkit dari ranjang dan mengambil air wudhu untuk menjalankan Sholat Malam.
Dalam keheningan malam, membuat Ibunda Tifa larut dalam kekhusyukan ibadahnya.
Bertengadah mengucapkan dentum ayat suci Al Qur’an nan merdu.
...
Kring,...Kring,..Kring,...
Begitulah
suara pedagang sayur yang setiap pagi membangunkan Tifa tepat pada pukul yang
sama 5.00 , memang itu masih terbilang sangat pagi karena ia baru akan masuk kuliah
pukul 10.00 namun sudah menjadi kebiasaannya untuk menjalankan aktivitas pagi selama
kuranglebih 5 jam membantu ibu dan memenuhi kewjibannya. Rutinitas tifa itu tak
terhenti begitu saja meskipun biasanya ia slalu menjalankan ibadah sholat
shubuh dengan ayah dan ibundanya, namun kini lain. Semua kebersamaan patah pada
oleh hilangnya satu rusuk penyangga punggung ini.
“Bagaimanapun
keadaanya, seperti inilah jalanku yang harus aku lalui. Memang tak semudah dan
tak lurus yang aku rasakan dulu tapi aku yakin Ayah bangga melihatku bisa
bersikap tabah dan tegas dalam segala hal. Aku harus Mandiri, karena Tuhan
mengujiku agar aku kuat” ucap dalam benak Tifa
“Dek,
bangun ini udah waktunya sholat subuh. Sana ambil air wudhu ya sama Dika (adik
bungsu Tifa). Degan rambut yang sedikit berantakan, Rani
mencoba membuka mata dan hengkang dari tempat tidur untuk menmbangunkan adiknya
lalu mengambila air wudhu. Siswa yang duduk dibangku kelas 2 SMA N 2 JAKARTA
itu bisa dibilang anak yang rajin dan tak banyak bergantung pada kedua
orangtuanya. Setiap pagi ia rutin melakukan aktivitas menyiram bunga depan
rumah dan membereskan ruangan.
Sedangkan
si sulung dari 3 bersaudara itu masih berumur 12 tahun, ia memiliki sifat yang
jauh berbeda dengan kedua kakak perempuannya. Sifatnya yang bisa dibilang kaku
dan sering tak mendengarkan nasehat orang tua membuat sang Ibunda sedikit
khawatir, karna sampai detik ini Dika masih merasakan keterpurukan akibat
kehilangan sang ayah.
“Dika,
sarapan dulu sayang”, panggilan lembut ibunda sambil mengankat
ganggang sendok berisikan sesuap nasi. Tak begitu terdengan jawaban dari sang anak,
Ia kemudian membawakan sarapan Dika ke kamarnya.”Ini dimakan dulu, trus susunya
jangan lupa diminum ya” Ucap sang ibu sembari meletakkan baki diatas meja
belajar Dika.
“Iya
bunda, ini Dika udah selesai ko siapsiapnya”, sahut sang anak
sambil merapikan tali sepatunya.
Suara
nyaring yang hampir menggetarkan jendela rumah mengampiri. ”Ma, aku
berangkat dulu ya, bekalnya aku bawa Assalamualaikum”, teriak Rani dari
lantai satu rumah itu.”Iya, hati-hati ya jangan pulang telat”, Ucap
Ibunda dalam perjalanan menuruni tangga.
Tak lama
kemudian Dika berlari tergesa menuruni tangga dan mengambil telapak tangan sang
ibunda,”Aku pamit ya bun, Assalamualaikum”,bisik Dika
Rumah
dengan dua lantai itu nampak terlihat seperti rumah tua yang suasananya hening,
tak ada suara teriakan anak-anak. Tak ada suara ricuh bersautan, hanya ada
suara gemercik air mancur disamping rumah. Semakin hari semakin terasa senyap
yang terbayang.
Mentari
bergeser tempat menutupi kening ini, tak terasa waktu berjalan cepat. Tifa
hanya mengambil libur izin selama 5 hari pasca meninggalnya sang ayah.”Bunda,
aku balik ke kampus ya, jaga diri Bunda dan kalau misal butuh apa2 bisa telfon
aku” ucap pamitan Tifa sambil memeluh tubuh kurus ibunya.
“Iya,
kamu juga jaga diri disana. Besok kalau luang pulang saja ya, biar bunda gak
kangen” jawaban ibunda dengan tubuh yang masih lesu
setelah berberes semalaman. Mereka berdua berjalan menuju pintu depan rumah, Tifa
berangkat dengan menaiki mobil peninggalan sang Ayah.
Waktu
datang dengan tanpa sebuah tanda untuk memulai dan berakhir begitu segalanya
telah ada pada jalanya. Kesanggupanmu yang harus kau jadikan ukuran
keberaniaanmu menjalani semua atas hal yang ada untukmu. Nikmati dan Syukuri,
Mungkin 2 kata yang paling ringan diiucap dalam mulut tapi sulir untuk diresapi
dalam hati. Dan ketahuilah bahwa semua itu ada titik terangnya,..
Lambaian
tangan ibunda menyertai kepergian Tifa untuk melanjutkan studinya di suatu
Universitas. Tepat setengah waktu hari berjalan, Ibunda Tifa kembali
menyibukkan diri dengan melakukan kegiatan rutin harian sebelum kedua anaknya
itu pulang.
...
Tingtong,...Tingtong,..
Bunyi bel
mengagetkan itu terdengar, Dengan sigap Perempuan yang akrab Dipanggil Ibu
Shinta itu membuka pintu rumahnya. Penampakan lelaki berbadan tegap dengan pakaian
layaknya seorang pengemudi armada Udara.
“Selamat
Siang, Apakah benar ini kediaman Bapak Sudarsono(Alm)? ” Pertanyaan
spontan yang langsung keluar dari mulut lelaki muda seumuran Tifa itu.
“Iya
benar, ada perlu apa ya? Dan maaf ini saya berbicara dengan siapa?” tanya
heran Perempuan dengan serempang kumal di atas pundaknya. Dengan tampang muka
yang menyeramkan namun terlihat seperti orang yang berwibawa sang Pilot
menjawab,”Oh, perkenalkan sebelumnya saya Roy teman satu angkatan Darso(Alm)
waktu awal masuk ke armada”, Tegas Roy.
Seolah kedatangan lelaki
tersebut menguak luka yang belum sepenuhnya kering , Suasana yang sempat
terlintas seberkas cahaya kini kembali tertutup oleh setitik awan yang
menggelapkan suasana
“Oh,
silahkan masuk dek. Maaf saya kebelakang dulu untuk berberes” Izin Ibunda Rani.
Dengan pakaian seadanya ia kembali kedapur untuk meletakkan selempang kumal
yang dibawanya kesana-kemari. Mencuci tangan dan kembali menghampiri tamu yang
belum pasti diketahuinya itu. Dengan sebuah cangkir berisikan air coklat mirip
seperti white coffe.
“Ini
silahkan diminum dulu, maaf seadanya saja” sambut ucap sang pemilik rumah.
Dengan caranya sendiri lelaki tersebut mengambil minuman yang telah tersedia
dengan sebuah cangkir kecil.” Maaf, maksud kedatangan saya kemari hanya untuk
bersilahturahmi, kemarin saya mendengar berita duka dari Bapak. Tapi karena saya
ditugaskan diluar negeri jadi saya tidak bisa pulang begitu saja” Jelas lelaki
tersebut.
Dengan
nada yang seolah menguak lagi luka dihari lalu Perempuan 3 anak itu menjawab,
“Iya, terimakasih sudah datang kemari. Ada keperluan lain yang bisa saya
bantu?”
,..”Tidak,
saya kemari hanya ingin mengantarkan barang-barang bapak yang masih tertinggal
di kator, Dan ini ada sedikit bungkus dari sahabat untuk Ibu dan sekeluarga” ucap Roy
sembari meletakkan barang kerja kantor (Alm) Sudarsono diatas meja tamu.
“Iya terimakasih
banyak atas keperduliannya dan maaf sudah merepotkan membawakan barang-barang
bapak pulang,” jawab Ibunda Rani dengan nada halus.
Tak lama
kemudian, setelah berbincang banyak dengan Istri (Alm) Sudarsono, Pilot Armada
Penerbangan Bandara Soekarno-Hatta itu pamit pulang.
“Terimakasih
ya dek, sudah datang kemari. Lain kali jangan sungkan untuk bermain kemari,” ucap
Shinta dengan senyum kecil di lesung pipinya.
Pamit
anak lelaki muda itu, mengembalikan kesibukan Ibunda Rani untuk membereskan
rumah seperti kegiatan biasanya. Menyiapkan segala keperluan dan makanan
sebelum si bungsu dan Rani pulang dari sekolahnya.
Tak
terasa, jam sudah menunjukkan jarum yang menunjuk pada angka kursi terbalik.
Seharusnya kedua anak itu sudah berada didepan televisi setelah pulang dari
sekolah dan dilanjutkan mengikuti bimbingan diluar jam sekolah maupun kegiatan
tambahan sekolah (ekstrakurikuler).
Mentari
sudah bersembunyi artinya makan malam sudah tiba, Rani dan Dika berkumpul dan
duduk sambil membawa iPad dan Headset yang menyibukkan masing-masing dari
mereka. Sedangkan itu, Bi Ida menyiapakan makanan didepan mereka. Mereka memang
sengaja menyewa pembantu rumah tangga karena sebentar lagi Ibunda mereka akan
kembali bekerja.
Makan
malam perdana mereka tanpa seorang Pria yang akrab dipanggil “Ayah” oleh ketiga
orang anak mereka terasa cukup baik dari hari sebelumnya. Mereka nampak sudah
bisa mengikhlaskan kepergian sang ayah untuk menghadap pada sang Khalik.
Hari demi
hari terlewati seakan tak ada lagi yang mengganjal hari maupun fikiran mereka,
semua kelam berubah menjadi warna indahnya kehidupan yang senantiasa
menghadirkan senyum nyata dunia J
Pengharapan yang tak henti untuk kehidupan yang lebih baik meskipun hilangnya
sebuah penopang yang dapat menjatuhkan segalanya sewaktu yang iya inginkan
Sebulan
tlah berlalu, tepat memasuki semester ke-4 Tifa di Kampusnya. Libur semester
sudah didepan mata, ia berencana menghabiskan waktu liburnya untuk berkumpul
dengan keluarga J Tifa
berencana mengajak ibundanya hengkang dari kesibukan ibukota dan merasakan
kesejukan dan damainya suasana di desa tempat Eyang tinggal.
Libur
tlah tiba,... Libur tlah tiba,.. HOREE....begitulah gambaran keceriaan Tifa, kedua
adiknya beserta Ibundanya.
...
Tepat
hari libur dan cuti bersama, Keluarga kecil itu berkemas untuk mempersiapkan
liburan ke rumah Eyang. Tifa yang terlalu ribet jika berurusan dengan liburan
ini, kali ini ia hanya membawa satu tas pakaian saja. Padahal perkiraan mereka
akan disana selama dua hingga 3 hari.”Ka, tumben gak bawa koper biasanya tuh
satu almari dibawa semua,” ucap usil sang adik
“Yee, itu
kan kamu yang paling ribet kalau mau keluar kota :p” sahut sang kakak. Kedua
anak perempuan itu tak mempengaruhi sikap adik laki-lakinya yang cenderung cuek
dengan segala hal. Usia 12 tahun bukan usia anak-anak lagi, sikap dia justru
menunjukkan kedewasaan yang mencolok. Apa mungkin itu karena ia hanya satu-satunya
laki-laki dikeluarga itu?,.. Ya Mungkin bisa dibilang seperti itu
Sunmor,..
dengan cuaca yang sangat mendukung untuk perjalanannya menuju bogor tempat sang
Eyang tinggal. Mereka berangkat dengan mobil pribadi namun didampingi dengan
sopir. Karena perjalanan yang lumayan jauh jika harus perempuan seperti Tifa
yang mengendarai sendiri.
Perjalanan
yang cukup panjang akan mereka lalui, mungkin butuh waktu 5 jam untuk samapi ke
bogor, itupun jika macet tak menghadang. Kesibukan pada diri sendiri sudah nampak
terlihat diantara ketiga bersaudara ini,”Dek, musiknya jangan kneceng-kenceng,
ganggu Pak No yang baru nyetir” ucap Rani
“Pak No,
ini gak ganggu kan,” bangkang sang adik sambil menggona si supir.”Gak ko,
gapapa,” jawab Pak No
“Tuh pak
No aja gak keganggu ko, ngapain kakak sensi :p,” ejek sang adik pada Rani.
Keributan dan Keseruan menemani perjalanan jauh mereka. Sampai mereka terlelap
dangan sendirinya.
Sudah
cukup lama mereka berada didalam mobil, dan ternyata sudah hampir samapi
tujuan. Ibunda membangunkan ketiga putr-putrinya,” Kak Dek ayo bangun ini udah
mau sampai, buruan kemasin itu barang yang berceceran,” Ucap lembut Ibunda yang
berupaya membangunkan ketiga anaknya itu
Sesampainya
di depan halaman Eyang, udara kota seolah telah lenyap dan berubah dengan udara
yang penuh Oksigen bersih. Kabut yang masih melekat tebal meski waktu sudah
menunjukkan pukul 12.30. Tetapi memang begitah suasana di Perdesaan.
Tuhan, Lancarkan aktivitasku
Tuntaskan Studiku, Jagalah keluargaku
Jadikan aku sosok manusia kecil yang bermakna
Disini, Dunia ini dan Akhirat kelak
Aamiin,....
...