Senin, 26 Mei 2014

Cerpen



Some Wish to God
By : Nita Nur Yutdiana

“....Hujan di senja ini seakan melalap semua kebahagiaanku dan merubahnya menjadi kekelaman, Rintikan air yang turun sengaja menutupinya untuk tak menampakkan pada sang surya....”

Intipan matahari yang nampak suram tertutup oleh gulungan awan mendung itu menjadikan dunia nampak tak secerah biasanya. Itu seperti perasaan berkabung yang dirasakan oleh Tifa. Sudah menginjak tujuh hari kepergian sang ayah tercinta. Ayah tifa pergi meninggalakan 3 orang anak dan Ibunda Tifa. Tepat pada malam ketujuh kepergian sang ayah dirumah tifa nampak ramai dengan orang duduk termenung melafalkan ayat suci al Quran untuk medoakan sang ayang yang telah tenang dialam sana. Kepedihanmu seakan datang kembali mengulang masa tujuh hari yang lalu saat ayah tifa menghembuskan nafas terakhirnya. Dibenaknya ia teringat pesan sang ayang yang diucapakan dengan patahan kata yang teka terlalu jelas yang keluar dari mulut Pria yang akrab dipanggil ayah oleh tifa.
“apapun yang terjadi pada ayah nanti, ayah mohon jaga adik adikmu dan Ibundamu. Jangan kau buat kesal ibunda yang telah membesarkanmu hingga kau menjadi orang hebat saat ini. Ayah tak bisa berbuat lebih, Semoga kebaikanmu akan menjadikanmu anak yang berbahagia bagimu dan orang lain”
Begitulah pesan terakhir yang diucapakan dari bibir kering sang ayah di hari ke2 sebelum ia mengembuskan nafas terakhir. Dari situlah, rinrihan hujan berpindah kemata Tifa yang terlarut dalam lantunan doa doa dzikir. Meskipun ia adalah perempuan yang tegar dalam hal apapun tapi jiwanya tetap lemah jika ia harus dihadapkan pada sisi kedua orangtuanya.
Jarum jam yang mengiringi syair demi syair doa tersebut telah melemah, begitu pula Tifa yang dengan segera membereskan ruangan tempat berkumpulnya pada rekan yang mendoakan ayahnya. Wajahnya nampak jatuh lemah, sepertinya ia lelah.
Dengan belaian lembutnya Ibunda tifa membelai Pundak Tifa “Tidurlah kak, biar bunda dan Bibi saja yang membereskan semuanya” Ucap sang ibunda dengan nada lembut”.
Hoaahemmnt,... dengan mata sayup tifa membalas sapaan ibundanya “Iya bunda, tifa duluan tidur ya. Kalau bunda capek dilanjutin besok juga gapapa” sahut Tifa. Tiap tapak lemas tubuhnya diarahkan pada suatu pintu bertuliskan tifa pada salah satu sisi luarnya. Tanpa melepas kedua alas kaki, ia lantas terbaring lesu tengkurang diranjang yang letaknya berdampingan dengan tempat tidur adik keduanya Rani.
Malam yang cukup melelahkan untuk Tifa, Ibunda dan kedua adiknya. Sekaligus malam perayaan Doa untuk sang ayah. Meski ayah tak dapat berada disekeliling mereka namun keluarga tersebut memulai semua hari tanpa Seorang ayah dengan tabah. Apapun takdir yang mereka terima, itulah yang terbaik menurut Tifa dan kedua adiknya.
Garis panjang jam dinding sudah menunjuk pusat mata angin, tapi Ibunda Tifa masih belum saja memejamkan matanya. Karena kegelisahan yang sedikit menganggu itu Ia beangkit dari ranjang dan mengambil air wudhu untuk menjalankan Sholat Malam. Dalam keheningan malam, membuat Ibunda Tifa larut dalam kekhusyukan ibadahnya. Bertengadah mengucapkan dentum ayat suci Al Qur’an nan merdu.
...
Kring,...Kring,..Kring,...
Begitulah suara pedagang sayur yang setiap pagi membangunkan Tifa tepat pada pukul yang sama 5.00 , memang itu masih terbilang sangat pagi karena ia baru akan masuk kuliah pukul 10.00 namun sudah menjadi kebiasaannya untuk menjalankan aktivitas pagi selama kuranglebih 5 jam membantu ibu dan memenuhi kewjibannya. Rutinitas tifa itu tak terhenti begitu saja meskipun biasanya ia slalu menjalankan ibadah sholat shubuh dengan ayah dan ibundanya, namun kini lain. Semua kebersamaan patah pada oleh hilangnya satu rusuk penyangga punggung ini.
“Bagaimanapun keadaanya, seperti inilah jalanku yang harus aku lalui. Memang tak semudah dan tak lurus yang aku rasakan dulu tapi aku yakin Ayah bangga melihatku bisa bersikap tabah dan tegas dalam segala hal. Aku harus Mandiri, karena Tuhan mengujiku agar aku kuat” ucap dalam benak Tifa
“Dek, bangun ini udah waktunya sholat subuh. Sana ambil air wudhu ya sama Dika (adik bungsu Tifa). Degan rambut yang sedikit berantakan, Rani mencoba membuka mata dan hengkang dari tempat tidur untuk menmbangunkan adiknya lalu mengambila air wudhu. Siswa yang duduk dibangku kelas 2 SMA N 2 JAKARTA itu bisa dibilang anak yang rajin dan tak banyak bergantung pada kedua orangtuanya. Setiap pagi ia rutin melakukan aktivitas menyiram bunga depan rumah dan membereskan ruangan.
Sedangkan si sulung dari 3 bersaudara itu masih berumur 12 tahun, ia memiliki sifat yang jauh berbeda dengan kedua kakak perempuannya. Sifatnya yang bisa dibilang kaku dan sering tak mendengarkan nasehat orang tua membuat sang Ibunda sedikit khawatir, karna sampai detik ini Dika masih merasakan keterpurukan akibat kehilangan sang ayah.
“Dika, sarapan dulu sayang”, panggilan lembut ibunda sambil mengankat ganggang sendok berisikan sesuap nasi. Tak begitu terdengan jawaban dari sang anak, Ia kemudian membawakan sarapan Dika ke kamarnya.”Ini dimakan dulu, trus susunya jangan lupa diminum ya” Ucap sang ibu sembari meletakkan baki diatas meja belajar Dika.
“Iya bunda, ini Dika udah selesai ko siapsiapnya”, sahut sang anak sambil merapikan tali sepatunya.
Suara nyaring yang hampir menggetarkan jendela rumah mengampiri. ”Ma, aku berangkat dulu ya, bekalnya aku bawa Assalamualaikum”, teriak Rani dari lantai satu rumah itu.”Iya, hati-hati ya jangan pulang telat”, Ucap Ibunda dalam perjalanan menuruni tangga.
Tak lama kemudian Dika berlari tergesa menuruni tangga dan mengambil telapak tangan sang ibunda,”Aku pamit ya bun, Assalamualaikum”,bisik Dika
Rumah dengan dua lantai itu nampak terlihat seperti rumah tua yang suasananya hening, tak ada suara teriakan anak-anak. Tak ada suara ricuh bersautan, hanya ada suara gemercik air mancur disamping rumah. Semakin hari semakin terasa senyap yang terbayang.
Mentari bergeser tempat menutupi kening ini, tak terasa waktu berjalan cepat. Tifa hanya mengambil libur izin selama 5 hari pasca meninggalnya sang ayah.”Bunda, aku balik ke kampus ya, jaga diri Bunda dan kalau misal butuh apa2 bisa telfon aku” ucap pamitan Tifa sambil memeluh tubuh kurus ibunya.
“Iya, kamu juga jaga diri disana. Besok kalau luang pulang saja ya, biar bunda gak kangen” jawaban ibunda dengan tubuh yang masih lesu setelah berberes semalaman. Mereka berdua berjalan menuju pintu depan rumah, Tifa berangkat dengan menaiki mobil peninggalan sang Ayah.
Waktu datang dengan tanpa sebuah tanda untuk memulai dan berakhir begitu segalanya telah ada pada jalanya. Kesanggupanmu yang harus kau jadikan ukuran keberaniaanmu menjalani semua atas hal yang ada untukmu. Nikmati dan Syukuri, Mungkin 2 kata yang paling ringan diiucap dalam mulut tapi sulir untuk diresapi dalam hati. Dan ketahuilah bahwa semua itu ada titik terangnya,..
Lambaian tangan ibunda menyertai kepergian Tifa untuk melanjutkan studinya di suatu Universitas. Tepat setengah waktu hari berjalan, Ibunda Tifa kembali menyibukkan diri dengan melakukan kegiatan rutin harian sebelum kedua anaknya itu pulang.
...
Tingtong,...Tingtong,..
Bunyi bel mengagetkan itu terdengar, Dengan sigap Perempuan yang akrab Dipanggil Ibu Shinta itu membuka pintu rumahnya. Penampakan lelaki berbadan tegap dengan pakaian layaknya seorang pengemudi armada Udara.
“Selamat Siang, Apakah benar ini kediaman Bapak Sudarsono(Alm)? ” Pertanyaan spontan yang langsung keluar dari mulut lelaki muda seumuran Tifa itu.
“Iya benar, ada perlu apa ya? Dan maaf ini saya berbicara dengan siapa?” tanya heran Perempuan dengan serempang kumal di atas pundaknya. Dengan tampang muka yang menyeramkan namun terlihat seperti orang yang berwibawa sang Pilot menjawab,”Oh, perkenalkan sebelumnya saya Roy teman satu angkatan Darso(Alm) waktu awal masuk ke armada”, Tegas Roy.
            Seolah kedatangan lelaki tersebut menguak luka yang belum sepenuhnya kering , Suasana yang sempat terlintas seberkas cahaya kini kembali tertutup oleh setitik awan yang menggelapkan suasana
“Oh, silahkan masuk dek. Maaf saya kebelakang dulu untuk berberes” Izin Ibunda Rani. Dengan pakaian seadanya ia kembali kedapur untuk meletakkan selempang kumal yang dibawanya kesana-kemari. Mencuci tangan dan kembali menghampiri tamu yang belum pasti diketahuinya itu. Dengan sebuah cangkir berisikan air coklat mirip seperti white coffe.
“Ini silahkan diminum dulu, maaf seadanya saja” sambut ucap sang pemilik rumah. Dengan caranya sendiri lelaki tersebut mengambil minuman yang telah tersedia dengan sebuah cangkir kecil.” Maaf, maksud kedatangan saya kemari hanya untuk bersilahturahmi, kemarin saya mendengar berita duka dari Bapak. Tapi karena saya ditugaskan diluar negeri jadi saya tidak bisa pulang begitu saja” Jelas lelaki tersebut.
Dengan nada yang seolah menguak lagi luka dihari lalu Perempuan 3 anak itu menjawab, “Iya, terimakasih sudah datang kemari. Ada keperluan lain yang bisa saya bantu?”
,..”Tidak, saya kemari hanya ingin mengantarkan barang-barang bapak yang masih tertinggal di kator, Dan ini ada sedikit bungkus dari sahabat untuk Ibu dan sekeluarga” ucap Roy sembari meletakkan barang kerja kantor (Alm) Sudarsono diatas meja tamu.
“Iya terimakasih banyak atas keperduliannya dan maaf sudah merepotkan membawakan barang-barang bapak pulang,” jawab Ibunda Rani dengan nada halus.
Tak lama kemudian, setelah berbincang banyak dengan Istri (Alm) Sudarsono, Pilot Armada Penerbangan Bandara Soekarno-Hatta itu pamit pulang.
“Terimakasih ya dek, sudah datang kemari. Lain kali jangan sungkan untuk bermain kemari,” ucap Shinta dengan senyum kecil di lesung pipinya.
Pamit anak lelaki muda itu, mengembalikan kesibukan Ibunda Rani untuk membereskan rumah seperti kegiatan biasanya. Menyiapkan segala keperluan dan makanan sebelum si bungsu dan Rani pulang dari sekolahnya.
Tak terasa, jam sudah menunjukkan jarum yang menunjuk pada angka kursi terbalik. Seharusnya kedua anak itu sudah berada didepan televisi setelah pulang dari sekolah dan dilanjutkan mengikuti bimbingan diluar jam sekolah maupun kegiatan tambahan sekolah (ekstrakurikuler).
Mentari sudah bersembunyi artinya makan malam sudah tiba, Rani dan Dika berkumpul dan duduk sambil membawa iPad dan Headset yang menyibukkan masing-masing dari mereka. Sedangkan itu, Bi Ida menyiapakan makanan didepan mereka. Mereka memang sengaja menyewa pembantu rumah tangga karena sebentar lagi Ibunda mereka akan kembali bekerja.
Makan malam perdana mereka tanpa seorang Pria yang akrab dipanggil “Ayah” oleh ketiga orang anak mereka terasa cukup baik dari hari sebelumnya. Mereka nampak sudah bisa mengikhlaskan kepergian sang ayah untuk menghadap pada sang Khalik.
Hari demi hari terlewati seakan tak ada lagi yang mengganjal hari maupun fikiran mereka, semua kelam berubah menjadi warna indahnya kehidupan yang senantiasa menghadirkan senyum nyata dunia J Pengharapan yang tak henti untuk kehidupan yang lebih baik meskipun hilangnya sebuah penopang yang dapat menjatuhkan segalanya sewaktu yang iya inginkan
Sebulan tlah berlalu, tepat memasuki semester ke-4 Tifa di Kampusnya. Libur semester sudah didepan mata, ia berencana menghabiskan waktu liburnya untuk berkumpul dengan keluarga J Tifa berencana mengajak ibundanya hengkang dari kesibukan ibukota dan merasakan kesejukan dan damainya suasana di desa tempat Eyang tinggal.
Libur tlah tiba,... Libur tlah tiba,.. HOREE....begitulah gambaran keceriaan Tifa, kedua adiknya beserta Ibundanya.
...
Tepat hari libur dan cuti bersama, Keluarga kecil itu berkemas untuk mempersiapkan liburan ke rumah Eyang. Tifa yang terlalu ribet jika berurusan dengan liburan ini, kali ini ia hanya membawa satu tas pakaian saja. Padahal perkiraan mereka akan disana selama dua hingga 3 hari.”Ka, tumben gak bawa koper biasanya tuh satu almari dibawa semua,” ucap usil sang adik
“Yee, itu kan kamu yang paling ribet kalau mau keluar kota :p” sahut sang kakak. Kedua anak perempuan itu tak mempengaruhi sikap adik laki-lakinya yang cenderung cuek dengan segala hal. Usia 12 tahun bukan usia anak-anak lagi, sikap dia justru menunjukkan kedewasaan yang mencolok. Apa mungkin itu karena ia hanya satu-satunya laki-laki dikeluarga itu?,.. Ya Mungkin bisa dibilang seperti itu
Sunmor,.. dengan cuaca yang sangat mendukung untuk perjalanannya menuju bogor tempat sang Eyang tinggal. Mereka berangkat dengan mobil pribadi namun didampingi dengan sopir. Karena perjalanan yang lumayan jauh jika harus perempuan seperti Tifa yang mengendarai sendiri.
Perjalanan yang cukup panjang akan mereka lalui, mungkin butuh waktu 5 jam untuk samapi ke bogor, itupun jika macet tak menghadang. Kesibukan pada diri sendiri sudah nampak terlihat diantara ketiga bersaudara ini,”Dek, musiknya jangan kneceng-kenceng, ganggu Pak No yang baru nyetir” ucap Rani
“Pak No, ini gak ganggu kan,” bangkang sang adik sambil menggona si supir.”Gak ko, gapapa,” jawab Pak No
“Tuh pak No aja gak keganggu ko, ngapain kakak sensi :p,” ejek sang adik pada Rani. Keributan dan Keseruan menemani perjalanan jauh mereka. Sampai mereka terlelap dangan sendirinya.
Sudah cukup lama mereka berada didalam mobil, dan ternyata sudah hampir samapi tujuan. Ibunda membangunkan ketiga putr-putrinya,” Kak Dek ayo bangun ini udah mau sampai, buruan kemasin itu barang yang berceceran,” Ucap lembut Ibunda yang berupaya membangunkan ketiga anaknya itu
Sesampainya di depan halaman Eyang, udara kota seolah telah lenyap dan berubah dengan udara yang penuh Oksigen bersih. Kabut yang masih melekat tebal meski waktu sudah menunjukkan pukul 12.30. Tetapi memang begitah suasana di Perdesaan.

Tuhan, Lancarkan aktivitasku
Tuntaskan Studiku, Jagalah keluargaku
Jadikan aku sosok manusia kecil yang bermakna
Disini, Dunia ini dan Akhirat kelak
Aamiin,.... 

...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar