Rabu, 28 November 2012

ARTIKEL KESEHATAN


Pemandangan yang Buram atau Kacamatanya yang Harus Diganti?

Dengan ‘kacamata’ yang benar kita selalu melihat harapan di dalam kesulitan hidup seberat apa pun yang kita hadapi. Kita meyakini bahwa di dalam setiap kesulitan selalu terdapat kemudahan.

Kacamata. Sebuah frase yang memiliki makna denotatif dan konotatif. Dia bisa berarti sebuah alat yang membantu memperbaiki daya penglihatan. Bisa pula bermakna ‘cara kita memandang sesuatu’. Dengan kacamata yang salah, situasi apa pun yang kita hadapi akan dipersepsikan secara negative. Dengan kacamata yang baik kita selalu menemukan sisi positif dari setiap peristiwa yang kita alami. Bahkan, sekali pun peristiwa itu kurang menyenangkan. Benarkah demikian? Benar. Karena kita percaya bahwa setiap peristiwa itu seperti keping mata uang. Terserah kita, apakah memfokuskan sudut pandang pada sisi positif atau negatifnya?
Kacamata ini sudah saya gunakan selama lebih dari tiga tahun. Salah satu alasan mengapa saya tidak ingin menggantinya adalah karena saya merasa nyaman dengannya. Setiap hari saya menggunakannya sehingga saya tidak menyadari bahwa sesuatu telah terjadi dengan penglihatan ini. Pada awalnya, saya merasakan sakit kepala yang semakin lama semakin sering terjadi. Kemudian, teks film di TV terlihat kurang jelas sehingga saya berusaha mengubah-ubah kabel antena. Namun, saya tidak berhasil membuat gambar di TV lebih jelas sekali pun tiang antena di atap rumah sudah diputar-putar ke sana-ke mari. Jangan-jangan, ‘kesalahan bukan pada pesawat televise….’
Benar saja. Pemeriksaan di sebuah optik menunjukkan kacamata itu tidak lagi cocok dengan kondisi mata saya. Rupanya, itulah yang menyebabkan mengapa pandangan saya tidak lagi jernih. Hari ini, tiba-tiba saya juga menyadari bahwa selama ini saya sering memandang hidup dalam suasana yang suram. Bahkan kadang-kadang gelap seperti diselimuti kabut. Jangan-jangan semua itu terjadi karena saya keliru menggunakan ‘kacamata’ dalam memandang hidup. Ketika menghadapi kesulitan hidup kita sering berkeluh kesah hingga tidak jarang kehilangan harapan. Seolah dunia ini nyaris runtuh. Bahkan, ketika prospek yang kita kunjungi mengatakan ‘tidak’ terhadap produk yang kita tawarkan, kita merasa kesakitan yang tajam di dalam hati. Atau ketika surat lamaran kerja kita tidak kunjung mendapatkan balasan, kita merasa dunia ini tertutup bagi kita. Atau, ketika seorang gadis mengatakan ‘maaf, saya belum bisa menerima cintamu,’ kita menganggap itu sebagai sebuah penghinaan. Kita sering gagal melihatnya dari sisi positif sehingga batin kita dikuasai oleh kesimpulan dan sikap negatif.
Dengan kacamata yang keliru, bahkan kabar baik pun bisa dipersepsikan secara keliru. Ketika kita mendapatkan promosi jabatan, kita menganggapnya kesempatan untuk menepuk dada. ‘Sekarang gue ini bos, elu pade mesti hormat sama gue!’ Ketika Tuhan memberikan kelapangan harta, kita melihatnya sebagai kesempatan untuk menunjukkan bahwa derajat kita lebih tinggi dari orang lain yang pada miskin. Ketika dianugerahi keluasan ilmu, kita mengira orang lain bodoh.

Petugas optik menyarankan kepada saya untuk mengganti lensa kacamata itu. Lalu saya mengikuti sarannya. Ajaib sekali, sejak saya mengganti lensa kacamata itu, saya tidak lagi mengeluh sakit kepala yang selama ini menghantui. Pesawat televisi saya menampilkan gambar yang jelas dan bersih. Saya memandang dunia seolah menampilkan suasana baru yang jauh lebih cerah dari sebelumnya. Hal ini benar dalam pengertian sesungguhnya, maupun dalam konteks metafora. Buktinya, dengan ‘kacamata’ yang benar kita selalu melihat harapan di dalam kesulitan hidup seberat apa pun yang kita hadapi. Kita meyakini bahwa di dalam setiap kesulitan, selalu terdapat kemudahan.
Ketika seorang pelanggan mengatakan, “maaf, saya tidak jadi membeli produk Anda,” tiba-tiba saja kita menyadari bahwa cara pendekatan atau teknik penjualan yang kita gunakan itu masih belum tepat sehingga kita harus memperbaikinya. Atau, mungkin produk kita tidak lagi memiliki keunggulan sehingga kita menjadi tertantang untuk melakukan inovasi. Tanpa penolakan itu, kita mungkin tidak pernah sampai pada kesadaran sedalam itu.
Kacamata itu jugalah yang memberi kita kemampuan untuk menerima semua cobaan yang Tuhan berikan sebagai sarana bagi kita untuk ‘naik tingkat’ di mata-Nya. Bukankah para guru spiritual kita selalu mengatakan bahwa, “jika Tuhan ingin menaikkan derajat seorang hamba maka Dia akan memberinya sebuah cobaan. Jika hamba itu dapat melalui cobaan itu dengan tulus dan penuh kesadaran maka tingkat keimanannya akan semakin tinggi.”             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar